Industri transportasi udara nasional, khususnya helikopter mengalami perkembangan pesat, baik dari sisi teknologi maupun bisnis.
Mobilitas yang sangat tinggi dan padatnya kendaraan di jalanan menjadikan helikopter sebagai moda transportasi yang paling efisien, efektif waktu dan sangat bergengsi.
Helikopter memiliki keunggulan dan prestise tersendiri sehingga membutuhkan budget yang fantastis, tapi menyuguhkan jaminan kenyamanan, kemewahan, fleksibilitas jadwal penerbangan, dan akses khusus terminal pribadi.
Buku Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Aviaton Outlook 2022-2023 mencatat bahwa saat ini terjadi perubahan paradigma dalam penggunaan helikopter sebagai sarana transportasi udara.
“Di masa lalu, helikopter digunakan kalangan terbatas, yaitu konglomerat, militer dan kepala negara untuk menghindari kemacetan lalu lintas,” tulis buku yang diterbitkan INACA, yang merupakan sebuah Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia dibawah kepemimpinan Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja dan Bayu Sutanto, Sekjen INACA.
Kini, masih dalam catatan buku tersebut, tertera peran helikopter makin luas dan penggunaannya mayoritas untuk kepentingan bisnis, korporasi, medis, serta penanggulangan bencana hingga kepentingan pribadi.
Selain sebagai taksi terbang, helikopter digunakan untuk pemadaman kebakaran hutan, ambulans terbang (heli medis) dan connecting flight ke bandara.
Bahkan, pada mudik Lebaran 2022, banyak pemudik menggunakan layanan Helicity (Angkutan Kota Helikopter) yang memiliki rute dalam kota maupun antar kota (kota penyangga) untuk memenuhi kebutuhan perjalanan bisnis eksekutif dan perjalanan pribadi (non bisnis) yang membutuhkan efisiensi waktu.
Di masa pandemi Covid-19, permintaan heli medis atau layanan transportasi udara untuk pasien yang membutuhkan evakuasi medis cepat ke rumah sakit juga meningkat.
Bisnis heli medis berpotensi menjadi booming pada tahun-tahun mendatang sejalan dengan meningkatnya pemahaman dan kebutuhan masyarakat akan adanya layanan tersebut.
Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja, masih dalam catatan buku tersebut, juga melihat potensi yang menjanjikan dari heli medis terlebih di luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Brazil.
Ke depannya, di setiap negara penanganan heli dengan jarak menengah akan tetap dibutuhkan dan menyesuaikan dengan perangkat penunjangnya.
Helikopter memiliki fleksibilitas, karena tidak membutuhkan bandara untuk mendarat melainkan hanya helipad.
Bahkan, untuk pendaratan sekali bisa hanya dengan memanfaatkan lapangan bola.
Namun, kendala regulasi helikopter masih berasal dari terbatasnya operasi layanan tersebut hanya pada siang hari, sehingga masih terkendala bagi penumpang dengan kondisi darurat yang membutuhkan penanganan pada malam hari.
Dari sisi tarif juga masih lebih mahal dibandingkan dengan sewa pesawat niaga berjadwal.
Denon Prawiraatmadja menuturkan, ke depannya pelaku bisnis helikopter sangat berpeluang untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan asing yang ingin mengembangkan usaha di tanah air.
Peluang usaha yang dapat dilakukan, seperti kontribusi penambahan armada ataupun investasi. “Terobosan dan kerja sama perlu dilakukan dengan berbagai pihak agar bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya.”
Salah satunya adalah terobosan dalam mengembangkan bisnis helikopter sebagai moda transportasi inter city ataupun intra city, baik di Jakarta dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang atau di ibu kota baru.
Dengan terobosan yang dilakukan ini diharapkan akan membuka peluang usaha dan kerja sama yang saling menguntungkan dengan para mitra bisnis, serta tidak ketinggalan akan mempermudah masyarakat dalam melakukan perjalanannya.
Saat ini, industri helikopter di Indonesia memasuki masa transisi dan hal ini dipengaruhi transformasi digital dan transformasi energi.
Kedua transformasi itu harus direspon secara positif dan benar. Vertical Take Off and Landing (VTOL) sebagai bagian dari transportasi udara membuka banyak kesempatan untuk dikembangkan terkait transformasi digital dan elektrifikasi.
Salah satunya adalah drone dan negara-negara manufaktur, seperti Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan Eropa telah mengembangkan teknologi drone atau elektrik sejak sebelum pandemi Covid-19.
Pemangku kepentingan industri penerbangan khususnya di sektor VTOL harus mematuhi dan mengikuti regulasi internasional.
“Indonesia jangan sampai salah mengimplementasikan dan merespon transformasi digital dan transformasi energi dalam membangun industri transportasi udara,” tulis buku tersebut.
Baik produk maupun regulasi VTOL, harus mengacu pada peraturan yang diatur oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), Federal Aviation Administration (FASA), lembaga yang membuat dan mengatur regulasi penerbangan sipil yang berada di Amerika Serikat, atau European Aviation Safety Agency (EASA).
Ketiga lembaga penerbangan yang menjadi standar acuan penerbangan internasional itu, di antaranya, mutlak mensyaratkan pilot on board walaupun produk.