Mengakhiri Pembelian Barang Bekas Kereta Api

Kereta Rel Listrik (KRL) milik KAI Commuter. (dok. istimewa)
Bagikan

Memproduksi sendiri sarana perkeretaapian memang mahal di awal, namun lebih murah pada perawatan yang akhirnya bangsa sendiri bisa mandiri.

Pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line diedukasi, sehingga tarif bisa naik.

Pemerintah memperhatikan tambahan subsidi agar operator perkeretapian bisa mengoperasikan dan melayani dengan optimal.

Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang. (dok. pribadi)

Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVII HIPMI Tahun 2021, Jumat (5/3/2021) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, menyampaikan kepada kementerian dan lembaga, kepada BUMN (Badan Usaha Milik Negara), semua BUMN untuk memperbesar TKDN (Tingkat Komponen dalam Negeri).

Jangan sampai proyek-proyek pemerintah, proyeknya BUMN masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan sebuah permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil.

Sikap cinta tanah air bisa ditunjukkan dengan mencintai produk dalam negeri. Artinya saat kita menggunakan produk buatan Indonesia, hal ini memperlihatkan bahwa kita bangga dan mencintai tanah air.

Mencintai produk dalam negeri berarti membeli, menggunakan dan memanfaatkan produk buatan perusahaan atau kelompok usaha lokal Indonesia.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter atau Kereta Commuter Indonesia (KCI) merencanakan pengadaan kereta bukan baru atau kereta bekas untuk mengganti kereta yang dikonservasi atau dipensiunkan pada 2023.

Rencana mengimpor kereta bekas dari Jepang itu sudah disetujui Kementerian Perhubungan, namun belum mendapat persetujuan Kementerian Perindustrian.

Kementerian Perindustrian menghendaki tidak impor kereta bekas, tetapi memproduksi sendiri di PT Inka.

Penggunaan sarana KRL bekas sudah dimulai sejak 23 tahun yang lalu. Selama itu pula, PT KAI/PT KCJ/PT KCI belum pernah membeli atau investasi sarana KRL yang baru sendiri untuk satu rangkaian (trainset) pun.

Selama masa itu, ada sarana KRL baru buatan PT Inka, yakni pinjaman (loan) dari KFW (Jerman), yang dibeli oleh negara melalui Kementerian Perhubungan dan saat ini dioperasikan PT KCI untuk KRL di lintas Yogyakarta-Solo.

Dengan melihat situasi dan kondisi PT Inka, ada baiknya dibuat seperti program Sandwich. Jika kebutuhan PT KCI 10 rangkaian (trainset) per tahun, maka diadakan sarana KRL bekas sebanyak 8 rangkaian, kemudan PT Inka diberikan porsi buat dua rangkaian baru.

Perbandingan ini makin lama komposisi barunya dapat ditambah bertambah. Sementara pembelian kereta bekas dikurangi. Pasalnya, PT Inka pun juga tidak akan bisa memenuhi kebutuhan, misalnya 10 rangkaian dalam setahunnya, karena masa produksi memerlukan waktu yang cukup.

Keuntungannya, setiap tahun PT Inka akan memperoleh order produksi sarana KRL baru dan kebutuhan operasi sarana KRL oleh PT KCI dapat terpenuhi. Dengan memproduksi secara rutin sarana KRL setiap tahun, maka diharapkan kualitas produk PT Inka juga semakin baik.

Dengan kondisi sekarang (tidak boleh impor), pilihannya tidak mudah. Pilihan pertama, dibiarkan, sarana kereta yang usang tidak dioperasikan, maka dampaknya akan banyak penumpang KRL Commuter Line yang terlantar.

Namun dengan pilihan kedua, yakni tetap dioperasikan, tanpa bisa menjamin keselamatan penumpang. Dalam sektor transportasi, keselamatan merupakan hal yang utama harus diperhatikan dan tidak bisa ditawar-tawar.

Kondisi seperti sekarang ini sebenarnya bukan menambah jumlah sarana KRL, akan tetapi mengganti sarana KRL yang sudah tidak bisa beroperasi lagi.

Kita dukung keduanya. Produk dalam negeri dengan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bisa bikin bangsa kita mandiri dalam teknologi perkeretaapian.

Namun harus tahu situasi dan kondisi pabrikan di dalam negeri. Impor, jangan kebablasan, kurang menghargai produk dalam negeri dan kemampuan bangsa sendiri.

Sekarang masa transisi, mulailah berbenah. Impor barang bekas itu murah, akan tetapi juga harus diakhiri.

Murah di awal, tapi biaya perawatan mahal. Pegawai PT KCI yang setiap hari merawat KRL Commuter Line pada mengeluh cari suku cadangnya sudah tidak diproduksi di Jepang akhirnya harus melakukan kanibal.

Pemerintah duduk bersama membahas rencana impor kereta bekas dari Jepang.

Berbagai aspek harus dilihat dan dipertimbangkan agar pertimbangan dalam menerima ataupun menolak impor itu tidak semata-mata, karena kepentingan ekonomi. Hal ini sangat penting, karena menyangkut kepentingan dan keselamatan publik.

Pemerintah juga harus paham konsekuensi dari pembelian baru dan bekas terhadap dampak finansial di PT KCI. Struktur Public Service Obligation (PSO) dan tarif KRL Commuter Line harus dievaluasi.

Jangan sampai tarif tidak pernah naik, padahal Biaya Operasional (BIOP) kereta api setiap tahun bertambah.

Tidak mungkin hal ini dibebani pada PT KCI dan pemerintah untuk selamanya. Jika harus ditanggung oleh pemerintah, semestinya sudah tidak sebesar sekarang ini.

Warga Jabodetabek pengguna KRL Commuter Line juga harus diberikan edukasi. Warga Jabodetabek memiliki Upah Minimum Kabupaten/Kota tertinggi di Indonesia dan setiap tahun naik.

Sementara itu, tarif menggunakan KRL Commuter Line tergolong murah dengan nilai subsidi terbesar.

Bandingkan dengan besaran PSO KRL Commuter Line tahun 2023 sebesar Rp1,6 triliun, sedangkan pada tahun yang sama subsidi angkutan bus perintis di daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal dan Pedalaman (3TP) untuk 327 trayek senilai Rp177 miliar.

Oleh sebab itu, tarif KRL Commuter Line harus naik dan anggaran untuk PSO semakin dikurangi.

Pengguna KRL Commuter Line tidak harus setiap hari diberikan subsidi. Bisa jadi di akhir pekan atau hari libur, subsidi dikurangi atau dihilangkan. Karena prinsipnya, subsidi diberikan untuk warga penglajo (commuter) yang rutin bekerja menggunakan sarana transportasi umum seperti KRL Commuter Line akan mendapatkan subsidi tarif.

Skenario efisiensi PSO KRL Commuter Line

Secara umum ada efisiensi PSO untuk KRL Commuter Line dengan kisaran Rp208,9 miliar hingga Rp496 miliar per tahunnya.

Perhitungan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (2023), jika menggunakan skenario menaikkan tarif untuk 1 km-25 km pertama Rp5.000 dan 10 km berikutnya Rp1.000,00, ada penurunan PSO sebesar Rp475,6 miliar.

Jika untuk 1 km-25 km pertama Rp3.000 dan 10 km berikutnya Rp1.000,00, ada penurunan PSO Rp496 miliar.

Menggunakan skenario tepat sasaran, yakni 56% penumpang KRL Commuter Line dengan pendapatan di bawah Rp5 juta ada penurunan PSO sebanyak Rp 208,9 miliar.

Dengan catatan, tarif untuk kelompok pendapatan tinggi (high income) dikenakan Rp5.000 untuk 25 km pertama dan Rp1.000,00 untuk 10 km berikutnya.

Dengan skenario jam sibuk (peak hour) dan tidak sibuk (non peak hour), mempertimbangkan 68% penumpang KRL Commuter Line berada pada peak hour.

Jika dikenakan tarif peak hour Rp5.000 untuk 25 km pertama dan Rp1. 000 untuk 10 km berikutnya, ada penurunan PSO sebesar Rp260,6 miliar. (Penulis: Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang)

Komentar

Bagikan