Perusahaan maskapai penerbangan di dalam negeri mengeluhkan banyaknya biaya dalam industri penerbangan yang harusnya bisa ditekan, sehingga harga tiket relatif mahal.penerbangan
Banyaknya biaya tersebut hususnya dari biaya perawatan pesawat terkait kebijakan di kementerian keuangan dan perdagangan.
Menurut Presiden Direktur Lion Air Group, Capt. Daniel Putut Kuncoro Adi, kondisi ini berdampak pada harga tiket pesawat terbang yang harus ditanggung oleh konsumen.
Dia mengatakan hal tersebut mewakili maskapai penerbanganpesawatpppesawat lainnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR, bahkan kondisi ini berbeda dengan situasi di negara lain.
“Concern kita adalah kembali lagi kaitannya regulasi kementerian/lembaga, khususnya terkait dengan pengadaan impor barang sparepart,” ujarnya, baru-baru ini.
Capt. Daniel meminta untuk membandingkan dengan Malaysia – Singapura, karena di Indonesia untuk biaya impor atau bea masuk masih sekitar 37,9%, sedangkan di Malaysia 14% dan di Singapura 0%.
Padahal, lanjutnya, impor barang sparepart diperlukan untuk perawatan pesawat atau yang biasa disebut Maintenance, Repair and Overhaul (MRO).
“Seiring bertambahnya usia pesawat maka biaya MRO dari tahun ke tahun semakin besar,” tuturnya.
Capt. Daniel menjelaskan, maskapai penerbangan juga sudah mencoba menurunkan berbagai biaya dengan menjalin komunikasi intens dengan kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Kami coba diskusi dengan Kementerian Keuangan membahas PMK 81/2024, dengan Kementerian Perdagangan tentang Permendag 3/2024 untuk membantu supaya paling tidak MRO itu diberikan kesempatan untuk boleh mengimpor sparepart pesawat tanpa bea masuk, sama seperti airlines,” tuturnya.
Tingginya biaya perawatan terlihat dari ongkos maintenance, seperti pada tahun 2019 hanya 7,30%, tetapi hanya enam tahun berselang biaya MRO naik tiga kali lipat sampai 20,14% di tahun 2025.
“Bagaimana sebetulnya menekan tarif pesawat, komponen tadi biaya maintenance yang sebetulnya bisa ditekan, khususnya impor sparepart. Pesawat – pesawat kita di Indonesia semakin lama semakin tua,” ungkap Capt. Daniel.
Apalagi, dia menambahkan, tidak semua maskapai memiliki tempat perawatan sendiri di Indonesia, sebagian harus dikirim ke luar negeri, itu pun masih harus dipungut pajak.
“Kita harus tetap kirim ke luar. Begitu barang ini masuk ke Indonesia, terkenalah aturan – aturan PMK dan permendag bea masuk dan lartas,” ujarnya.
Besarnya pungutan pajak untuk perawatan tergolong besar membuat maskapai semakin kesulitan dan mau tidak mau membuat harga tiket pesawat, termasuk domestik menjadi tinggi.
“Kalau dirata – rata 0% hingga 30%, bea masuk itu 17,2%. Ditambah PPN 12%, PPh 2,5%, maka biaya impor kita hampir 32%. Ini juga menggunakan mata uang asing. Inilah yang menjadi concern kita kenapa akhirnya di 2025 cost maintenance menjadi tinggi,” kata Capt. Daniel. B