Komunikasi Krisis Faktor Penting Wujudkan Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan

Usai sesi diskusi terkait Destinasi dan Industri dalam Rakornas Parekraf 2022 di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (16/12/2022). (dok. kemenparekraf)

Industri pariwisata merupakan salah satu sektor yang rentan terhadap krisis baik yang disebabkan bencana alam maupun non alam, sehingga diperlukan pengelolaan risiko kepariwisataan yang baik termasuk di dalamnya adalah komunikasi krisis.

“Komunikasi krisis yang tepat dapat mengurangi suatu isu berkembang menjadi semakin besar. Baik komunikasi di tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan dan juga normalisasi,” ujar Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf/Baparekraf I Gusti Ayu Dewi Hendriyani dalam sesi diskusi terkait Destinasi dan Industri dalam Rakornas Parekraf 2022 di Hotel Sahid, Jakarta Jumat (16/12/2022).

Berdasarkan hal tersebut, Kemenparekraf memiliki manajemen krisis kepariwisataan, dengan Biro Komunikasi Kemenparekraf memiliki peran dalam memaksimalkan publikasi crisis center Kemenparekraf yang mencakup pengelolaan manajemen krisis kepariwisataan yang utuh.

Dewi menjelaskan, pengelolaan manajemen krisis kepariwisataan Kemenparekraf berjalan dalam empat fase dimana Biro Komunikasi Kemenparekraf melekat pada keempat fase tersebut.

Pertama adalah kesiapsiagaan yang merupakan fase ketika kinerja ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif berjalan normal/prakrisis, sehingga upaya yang dilakukan adalah lebih kepada kesiapsiagaan dan mitigasi krisis.

Dalam fase ini, Biro Komunikasi Kemenparekraf melakukan deteksi isu-isu yang berpotensi menimbulkan krisis terhadap berjalannya kegiatan pariwisata dan ekonomi kreatif dan mengomunikasikan hasil inventarisasi potensi krisis kepariwisataan itu kepada pemangku kepentingan melalui fungsi koordinasi.

Baca juga : Ada 18 Negara Boleh Ke Pulau Bali

“Selain itu, pemuatan konten yang sifatnya informasi, edukasi, mengarahkan pada tindakan call to action melalui pemanfaatan media sosial resmi Kemenparekrat, serta kanal lainnya untuk menimbulkan kesadaran masyarakat luas sebagai bagian dari pembentukan kesadaran publik,” jelasnya.

Selanjutnya, Kedua adalah tanggap darurat dimana merupakan fase yang memerlukan tindakan penanganan sesegera mungkin.

Dalam hal ini Biro Komunikasi Kemenparekraf salah satunya memproduksi siaran pers yang menjadi pernyataan resmi Kemenparekraf sebagai bahan informasi kepada seluruh pemangku kepentingan pariwisata dan ekonomi kreatif.

Ketiga adalah fase tahap pemulihan, yakni yang dilakukan Biro Komunikasi lebih terkait kepada pemulihan pemasaran terkait dengan pembuatan konten pencitraan dari satu destinasi.

Di fase pemulihan juga dilakukan terkait pemasaran yang berkolaborasi dengan tim Markom Kemenparekraf.

“Informasi tersebut didiseminasikan dalam berbagai format konten, seperti konten media sosial, konten artikel, siaran pers melalui berbagai angle pemberitaan,” ungkapnya.

Terakhir adalah fase normalisasi, yakni ketika kinerja ekosistem parekraf mulai diupayakan berjalan kembali secara normal pascakrisis. “Dalam fase ini kolaborasi dijalankan dengan pihak internal dan eksternal Kemenparekraf.”

Dewi menyatakan, tantangan komunikasi krisis kepariwisataan saat ini pun semakin besar, karenanya penting untuk dilakukan adaptasi, inovasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak.

“Baik internal maupun eksternal Kemenparekraf agar publikasi pusat krisis Kemenparekraf dapat tepat manfaat, tepat sasaran dan tepat waktu, serta berkelanjutan,” ujarnya.

Baca juga : Kemenparekraf Upayakan Hadirnya Desa Wisata di Kawasan Pesisir

Penyebaran informasi harus masif dilakukan, lanjut Dewi, termasuk edukasi agar masyarakat juga wisatawan aware terhadap potensi krisis akibat bencana.

Analis Kebencanaan Ahli Madya Direktorat Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasipnal Penanggulangan Bencana (BNPB) Pratomo Cahyo Nugroho menuturkan, mitigasi terhadap ancaman bencana atau krisis harus jadi dasar terhadap pengembangan pariwisata Indonesia.

Menurutnya, pengembangan destinasi pariwisata harus dibangun selaras dengan konsep resiliensi berkelanjutan, yakni budaya siaga atau sadar bencana, investasi science technology dan pendanaan, infrastruktur tangguh bencana, serta komitmen hingga level lokal di destinasi wisata.

“Industri pariwisata akan sangat rentan terhadap bencana, jika tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan memengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja pariwisata yang saat ini juga merupakan target kinerja dalam RPJMN 2020-2024. Untuk itu, perlu penyiapan destinasi wisata yang aman bencana,” kata Pratomo.

Hal senada dikatakan Staf Ahli Menteri Bidang Manajemen Krisis Kepariwisataan Kemenparekraf/Baparekraf, Fadjar Hutomo, ahkan dalam meningkatkan kolaborasi multipihak, Kemenparekraf akan kembali menginisiasi reaktivasi tim manajemen krisis kepariwisataan di tiap daerah/kabupaten.

“Jadi, dapat memudahkan koordinasi, baik dalam mitigasi dan penanganan krisis kepariwisataan,” tuturnya. B

Komentar