Kereta Api (KA) Cepat Jakarta – Bandung (KCJB) kembali menjadi bahan perbincangan hangat. Padahal, mengulik dan memperdebatkan ulang kebijakan yang sudah berjalan dan sudah terbukti nyata hasilnya adalah langkah yang kontra produktif.
Lebih dari itu, kebiasaan mencari – cari kesalahan pemerintahan sebelumnya demi membangun citra positif pemerintah yang sedang berkuasa justru menciptakan preseden buruk dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, padahal kebijakan besar, seperti Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) merupakan keputusan politik strategis yang diambil berdasarkan situasi, data dan proyeksi pada masa itu.
Maka, tugas pemerintahan berikutnya bukan mencari – cari kesalahan, melainkan memastikan keberlanjutan dan peningkatan manfaat dari kebijakan tersebut.
Rencana Induk
Perlu ditegaskan, pembangunan kereta cepat bukanlah ide mendadak atau ujug – ujug. Dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas), proyek kereta cepat telah tercantum sejak lama dan didukung oleh berbagai studi teknis yang melibatkan para pakar transportasi.
Artinya, pembangunan KCIC merupakan implementasi nyata dari rencana jangka panjang pemerintah untuk memperkuat konektivitas antarwilayah. Oleh karena itu, melanjutkan proyek ini hingga Surabaya bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban strategis agar proyek ini mencapai skala ekonomi yang optimal.
Jika hanya berhenti di Bandung, dengan jarak sekitar 160 km, KCIC belum akan mencapai titik efisiensi ekonominya. Sejak awal, Jakarta – Bandung dirancang sebagai tahap awal dari proyek besar yang menghubungkan Jakarta – Surabaya, bahkan bisa diperpanjang hingga Denpasar, Bali.
Bandung Tahap Awal
Pemilihan rute Jakarta – Bandung tentu bukan keputusan sembarangan. Jakarta dan kawasan aglomerasi Jabodetabek memiliki penduduk sekitar 30 juta jiwa, sedangkan aglomerasi Bandung Raya berpenduduk sekitar 10 juta jiwa.
Kedua wilayah ini membentuk dua kutub aktivitas ekonomi yang menghasilkan arus mobilitas tinggi dan potensi penumpang besar.
Tahap awal ini, sekaligus menjadi laboratorium nasional untuk pembelajaran teknologi dan model pembiayaan kereta cepat di Indonesia.
Dengan keberhasilan operasional KCIC, Indonesia kini memiliki pengalaman berharga yang akan sangat berguna untuk proyek – proyek kereta cepat berikutnya.
Mematikan Transportasi Lain
Kekhawatiran bahwa kereta cepat Jakarta – Surabaya akan ‘mematikan’ maskapai Garuda Indonesia, bandara atau jalan tol adalah pandangan yang berlebihan.
Pangsa pasar kereta cepat hanya akan menggantikan sebagian kecil penumpang rute Jakarta – Surabaya, padahal Garuda Indonesia dan bandara Soekarno-Hatta serta Juanda melayani ratusan rute domestik dan internasional.
Begitu juga jalan tol, yang lebih ditujukan untuk angkutan logistic, tidak akan kehilangan fungsi strategisnya.
Sebaliknya, keberadaan kereta cepat justru memperkuat jaringan transportasi nasional dengan menyediakan moda alternatif yang efisien, aman dan berkelanjutan.
Masalah Utang
Perdebatan soal utang KCIC sebaiknya dilihat dengan kepala dingin. Utang besar pada proyek infrastruktur publik bukan hal yang luar biasa dan yang penting, pemerintah harus memisahkan antara biaya prasarana dan biaya sarana.
Untuk proyek transportasi publik seperti kereta cepat, biaya prasarana (rel, terowongan, jembatan, stasiun, lahan) semestinya menjadi tanggungan pemerintah dan dibiayai melalui APBN.
Sementara itu, konsorsium atau operator kereta cepat cukup menanggung biaya sarana dan operasional yang dapat ditutup dari pendapatan tarif dan nontariff, seperti iklan dan kerja sama komersial lainnya.
Skema seperti ini sudah lazim di berbagai negara maju, dan bisa diterapkan untuk pembangunan lanjutan ke Surabaya agar beban utang konsorsium menjadi lebih ringan dan terukur.
Kebijakan Push and Pull
Agar proyek KCIC berkelanjutan secara finansial, pemerintah perlu mendorong tingkat keterisian (load factor) minimal 70%.
Caranya adalah dengan kebijakan Push and Pull, yakni menekan penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik, khususnya kereta cepat.
Eropa sudah menerapkan aturan bahwa penerbangan jarak pendek (di bawah 2 jam) diarahkan untuk menggunakan kereta cepat. Prinsip serupa bisa diterapkan di Indonesia, terutama untuk rute antarkota di Pulau Jawa.
Pasalnya, jika dilihat dari aspek efisiensi dan aksesibilitas, kereta cepat jauh lebih unggul dibanding pesawat, lebih aman, lebih efisien waktu dan lebih mudah dijangkau karena stasiun bisa dibangun di tengah kota.
Nilai Strategis Bangsa
Lebih dari sekadar transportasi, teknologi Kereta Cepat membawa nilai kebanggaan nasional. Proyek ini mempercepat transfer teknologi, membuka peluang industri perkeretaapian nasional dan mengangkat harga diri bangsa di hadapan dunia.
Dalam jangka panjang, bahkan Indonesia berpotensi membangun sendiri kereta cepat antarnegara, seperti di Pulau Kalimantan.
Setelah proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara selesai. Saat itu, kereta cepat buatan putra – putri Indonesia akan menjadi simbol kemandirian dan kemajuan bangsa, yang akan melayani tiga negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Saatnya Berhenti Berdebat
Sudah saatnya perdebatan tentang KCIC Jakarta – Bandung dihentikan. Energi bangsa ini seharusnya diarahkan untuk mengawal dan mengkritisi secara konstruktif rencana pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur, untuk melanjutkan pembangunan kereta cepat ke Surabaya dan bahkan ke Denpasar, Bali.
Langkah ini bukan hanya soal konektivitas, tapi juga tentang membangun masa depan transportasi modern Indonesia yang efisien, berdaulat dan berkelanjutan.
Sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi memang mahal, namun sebagai negara besar dengan sumber daya alam melimpah dan semangat maju, Indonesia pasti mampu membayarnya. (Edi Nursalam, Pemerhati Transportasi Perkeretaapian)




