Meskipun jalurnya masih pendek, kehadirannya menjadi simbol harapan untuk mengembalikan kejayaan perkeretaapian di Tanah Rencong.
Kereta Api (KA) Cut Meutia telah beroperasi sejak 1 Desember 2013 dan merupakan salah satu dari sembilan kereta api perintis yang ada di Indonesia. Kereta perintis ini berperan penting, sama seperti yang lain, seperti KA Datuk Belambangan di Sumatra Utara, KA Bathara Kresna di Jawa Tengah, KA Lembah Anai, dan KA Minangkabau Ekspres di Sumatra Barat.
Perintis lainnya, termasuk LRT Sumatra Selatan dan juga KA Makassar Parepare di Sulawesi Selatan.
Sejarah Perkeretaapian Aceh
Perkeretaapian di Aceh dimulai tahun 1876 oleh pemerintah kolonial Belanda. Awalnya, jalur kereta api ini dibangun untuk tujuan militer, yaitu untuk mempermudah pergerakan pasukan dan logistik dalam Perang Aceh, seperti mengangkut pasukan, senjata, dan logistik perang.
Jalur pertama yang dibangun adalah dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja (Banda Aceh) sepanjang 5 kilometer (km).
Pembangunan terus dilakukan hingga jalur kereta api di Aceh berhasil mencapai panjang total 502 km, menghubungkan kawasan – kawasan penting, antara lain Ulee Lheue – Banda Aceh – Sigli – Lhokseumawe – Langsa – Pangkalan Susu (di Sumatra Utara).
Seiring waktu, jalur ini terus diperpanjang dan dikelola oleh perusahaan bernama Atjeh Tram (AT) yang kemudian menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS).
Jalur ini membentang hingga ke Besitang di Sumatra Utara tahun 1919.
Meskipun awalnya dibangun untuk militer, kereta api kemudian juga dimanfaatkan untuk angkutan umum dan ekonomi, seperti mengangkut penumpang, serta hasil bumi, memfasilitasi perdagangan, dan memperkenalkan transportasi modern kepada masyarakat.
Setelah kemerdekaan, operasional kereta api di Aceh diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Namun, seiring dengan berbagai faktor, seperti bencana alam (banjir bandang yang merusak jembatan rel pada tahun 1976).
Terjadi kerugian finansial, dan semakin baiknya akses jalan raya, operasional kereta api di Aceh semakin menurun.
Pada tahun 1982, operasional kereta api di Aceh secara resmi dihentikan. Banyak rel dan aset perkeretaapian dibongkar atau terbengkalai.
Jalur kereta api di Aceh terus mengalami kerugian finansial. Puncaknya, pada tahun 1976, jembatan rel di atas Sungai Bengga, Pidie, rusak parah akibat banjir bandang dan tidak pernah diperbaiki.
Kerusakan ini dianggap sebagai awal dari berakhirnya era kereta api di Aceh.
Seiring dengan semakin baiknya infrastruktur jalan raya dan maraknya penggunaan kendaraan pribadi, masyarakat beralih dari kereta api ke transportasi darat lainnya yang dianggap lebih fleksibel.
Reaktivasi dengan KA Perintis
Jalur kereta api Lhokseumawe – Bireuen membentang sepanjang kira – kira 46,35 km. Bagian yang unik dari jalur ini adalah penggunaan lebar rel 1.435 mm, menjadikannya yang pertama di Indonesia setelah kemerdekaan.
Saat ini, segmen sepanjang 21,45 km (Krueng Geukueh – Kutablang) sudah beroperasi. Ke depannya, akan diaktifkan jalur sepanjang 8 km dari Stasiun Krueng Geukueh ke Stasiun Muara Satu, dengan rencana pengembangan lebih lanjut sekitar 17 km menuju Stasiun Matang dan Stasiun Bireuen.
Sepanjang jalur kereta api Lhokseumawe hingga Bireuen, beberapa stasiun telah selesai dibangun. Stasiun – stasiun tersebut meliputi Stasiun Muara Satu (terletak di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe) dan Stasiun Krueng Geukueh (di Keude Krueng Geukueh, Aceh Utara).
Selain itu, Stasiun Bungkaih (di Desa Bungkaih, Aceh Utara) dan Stasiun Krueng Mane (di Desa Cot Seurani, Aceh Utara). Kemudian, jalur ini berlanjut ke Kabupaten Bireuen, tempat berdirinya Stasiun Geurugok (di Desa Cot Pu’uk) dan Stasiun Kutablang (di Kecamatan Kutablang).
Layanan KA Perintis Cut Meutia menggunakan Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) yang diproduksi oleh PT INKA.
Pengoperasian KA ini berada di bawah tanggung jawab PT KAI Divre I Sumatra Utara, berdasarkan penugasan resmi dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan.
Satuan Pelayanan Lhokseumawe membantu mengelola dan memberikan dukungan terhadap layanan ini, berada langsung di bawah koordinasi Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas I Medan. BTP Medan mengawasi jaringan kereta api di tiga provinsi (Aceh, Sumatra Utara dan Riau).
Secara total, mereka mengelola jalur sepanjang 542 km, melayani 62 stasiun dan mengoperasikan 17 lintasan pelayanan.
Kehadiran KA Cut Meutia tidak hanya meningkatkan konektivitas dan mobilitas masyarakat, tetapi juga secara aktif mendorong pengembangan jaringan kereta api di Aceh.
Hal ini mencakup persiapan pengoperasian Stasiun Muara Satu (yang sebelumnya dikenal sebagai Stasiun Paloh), sekaligus mendukung aspek edukasi bagi masyarakat, dengan layanan yang aman, terjangkau dan berkelanjutan.
Selama periode Januari hingga Agustus 2025, KA Cut Meutia telah melayani 30.527 penumpang. Jumlah ini berasal dari total kapasitas kursi sebanyak 270.240, menghasilkan tingkat okupansi rata – rata 11%.
Tingkat keterisian tertinggi tercatat pada Februari, mencapai 26%, sedangkan bulan – bulan lainnya menunjukkan angka yang fluktuatif.
Dalam sehari, KA ini melayani delapan kali perjalanan dengan waktu tempuh selama 64 menit sekali jalan.
Perjalanan pertama dimulai pukul 07.04 dari Stasiun Krueng Geukueh dan perjalanan terakhir berangkat pukul 17.50 dari Stasiun Kutablang. Tarif yang dikenakan untuk sekali perjalanan adalah Rp2.000.
Lintas ini dipenuhi dengan perlintasan dari setiap rumah dan cukup membuat waspada bagi masinis yang mengoperasikannya.
Sepanjang perjalanan semboyan 35 selalu digunakan berupa sirine untuk meningkatkan faktor keselamatan bagi masyarakat.
Saat ini, KA Cut Meutia hanya menggunakan satu rangkaian yang terdiri dari dua kereta penumpang.
Kereta ini masih mengandalkan kipas angin sebagai pendingin, penting untuk segera melengkapi KA Cut Meutia dengan pendingin ruangan/Air Conditioning (AC).
Tanpa AC, penumpang dapat merasa tidak nyaman dan berkeringat, terutama saat kereta berjalan di bawah cuaca panas.
Selain itu, perlu dipertimbangkan penambahan unit kereta. Saat ini, tidak tersedia kereta cadangan. Apabila rangkaian yang beroperasi mengalami kerusakan dan memerlukan perbaikan, layanan akan terhenti karena tidak ada unit pengganti.
Petak Belum Operasi
Pembangunan jalur sepanjang 8 km dari Stasiun Krueng Geukueh menuju Stasiun Muara Satu telah dimulai sejak tahun 2023. Meskipun sosialisasi sudah dilakukan sejak Januari 2025, hingga saat ini jalur tersebut belum juga beroperasi.
Keterlambatan pengoperasian lintas ini dikhawatirkan akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam menghadirkan layanan konektivitas.
Saat ini, Stasiun Muara Satu sudah siap untuk dioperasikan. Dibandingkan dengan stasiun lain di jalur tersebut, Stasiun Muara Satu tergolong lebih luas dan memiliki fasilitas yang lengkap, termasuk lahan parkir kendaraan bermotor yang memadai.
Namun, ada kendala yang dihadapi sejumlah instalasi kelengkapan di Jalur Perlintasan Langsung (JPL) sering hilang dan harus berkali – kali diganti oleh kontraktor.
Sebagai informasi, JPL atau yang sering disebut perlintasan sebidang adalah perpotongan antara rel kereta api dan jalan raya/setapak, yang dijaga oleh petugas yang dikenal sebagai Petugas Jaga Lintasan (PJL).
Perlu Pendanaan
Saat ini, masyarakat belum menganggap KA Cut Meutia sebagai moda transportasi cepat yang esensial untuk mobilitas antar kota/kabupaten karena jarak tempuh yang sangat singkat.
Namun, kereta ini lebih dipandang sebagai sarana hiburan atau rekreasi semata. Persepsi ini pernah menyebabkan kereta berhenti beroperasi pada tahun 2014, karena sepi penumpang. Meskipun telah dihidupkan kembali, tingkat keterisian di rute pendek masih menjadi tantangan utama.
Sebagai kereta perintis, KA Cut Meutia terkendala oleh keterbatasan rute pendek yang belum sepenuhnya menghubungkan Lhokseumawe dan Bireuen, sehingga kurang efektif untuk transportasi massal.
Pada beberapa segmen yang belum beroperasi, masalah keamanan juga muncul, di mana terjadi kasus pencurian komponen rel (seperti paku rel/pantrol) oleh oknum tidak bertanggung jawab, merusak infrastruktur yang telah dibangun.
Oleh karena itu, penyelesaian proyek reaktivasi jalur Trans Sumatra dan penuntasan keterhubungan rel Lhokseumawe – Bireuen sangat mendesak, yang saat ini terhambat oleh masalah pendanaan, sehingga diperlukan alokasi dana khusus untuk menuntaskan koneksi jalur ini. (Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat)