Sinergi antara Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mutlak diperlukan agar layanan transportasi umum di 50 Kota Prioritas Pembangunan 2025 – 2029 dapat terwujud secara optimal dan berkelanjutan.
“Kami merancang 50 kota dan kawasan baru dengan visi untuk menyeimbangkan antara Jawa dan luar Jawa,” ujar Menteri PU Dody saat berbicara di Indonesia International Sustainability Forum 2025 (IISF) di JCC.
Ada 72% warga Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2045. Tanpa perencanaan matang, wajah perkotaan adalah macet, sesak dan lapar (Kompas, 12 Oktober 2025).
Secara keseluruhan, 50 Kota Prioritas ini dibagi menjadi tiga fokus utama. Sebanyak 10 kawasan metropolitan utama, 4 kota metropolitan usulan baru, dan 36 kota nonmetropolitan yang akan difokuskan pada pengembangan industri, pariwisata, perdagangan, dan pendidikan.
Sejumlah kota tersebut sudah memiliki transportasi umum sebanyak 17 kota (34%). Bagi kota – kota yang belum ada layanan transportasi umum modern, tentunya Kemenhub dan Kemendagri ikut mendorong diadakannya layanan transportasi umum.
Adapun 10 Metropolitan Area, meliputi Medan (Trans Metro Deli dan KRD Sri Lelawangsa), Palembang (Trans Musi Jaya dan LRT Sumatra Selatan), Jakarta (Transjakarta, LRT Jakarta, LRT Jabodebek, Commuter Line Jabodetabek), Bandung (Trans Metro Bandung, Metro Jabar Trans, KRD Rancaekek – Bandung – Padalarang), dan Semarang (Trans Semarang, Trans Jateng, KA Kedungsepur).
Selain itu, Surabaya (Trans Semanggi Surabaya, Suroboyo Bus, Trans Jatim dan Commuter Line Jenggala), Denpasar (Trans Netro Dewata dan Trans Sarbagita), Banjarmasin (Trans Banjarmasin dan Trans Banjarbakula), Makassar (Trans Mamminasata dan Trans Sulsel), dan Manado (Trans Manado).
Untuk empat Kota Metropolitan, yaitu Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Yogyakarta (Trans Jogja dan Commuter Line Jogja – Solo), Surakarta (Batik Solo Trans, Trans Jateng dan Commuter Line Jogja – Solo) dan Malang ( Commuter Line Dhoho/Panataran dan Commuter Line Tumapel).
Kota Industri, yaitu Cilegon, Batang, Gresik, Morowali, Konawe, Luwu Timur, Halmahera Tengah (Weda), Mempawah (Kijing) dan Bitung. Kota Pariwisata, yaitu Balige (Toba), Bintan, Tanjung Pinang, Buleleng (Kab. Singaraja), Mataram, Labuan Bajo (Kab. Manggarai Barat), Bukittinggi, Belitung, Gorontalo (Trans NKRI), dan Ambon.
Kota Perdagangan, yaitu Bandar Lampung, Samarinda, Balikpapan (Balikpapan City Trans), Sorong, Bengkulu, Surakarta (Batik Solo Trans, Trans Jateng dan Commuter Line Jogja – Solo), Jayapura dan Manado. Kota Pendidikan, yaitu Depok, Sumedang (Jatinagor), Salatiga, Malang, dan Purwokerto (Tran Banyumas dan Trans Jateng). Kota Kecil Spesial, yaiyu Tana Toraja, Banda Neira (Kab. Maluku Tengah), serta Pulau Morotai dan Pegunungan Arfak.
Manfaat Pembangunan Transportasi
Untuk lebih bermakna rancangan 50 kota prioritas akan memberikan manfaat bagi masyarakat, jangan dilupakan pembenahan ransportasi umum.
Pembangunan dan pembenahan transportasi umum yang terencana dan terpadu di 50 kota prioritas akan memberikan dampak luas, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Pertama, manfaat ekonomi dan pemerataan wilayah, (a) mendorong pusat pertumbuhan baru, yakni transportasi umum yang efisien di luar Jawa membantu menciptakan dan menghidupkan pusat-pusat ekonomi baru.
Ini sejalan dengan upaya pemerataan pertumbuhan agar tidak terpusat hanya di satu atau dua kota besar, (b) meningkatkan daya saing kota, yaitu kota dengan sistem transportasi yang andal akan lebih menarik bagi investasi dan pengembangan bisnis.
Hal ini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan perputaran ekonomi local, (c) mendukung sektor spesifik, yaitu di kota Industri dan pariwisata, transportasi umum mempermudah mobilitas pekerja dan wisatawan, sehingga mendukung kegiatan produksi dan pariwisata secara keseluruhan.
Kedua, manfaat sosial dan kualitas hidup, (a) peningkatan akses dan inklusivitas, yaitu transportasi umum menjamin semua lapisan masyarakat, termasuk pelajar, buruh, dan masyarakat kurang mampu, memiliki akses yang mudah dan terjangkau ke pusat pendidikan, pekerjaan, dan layanan Kesehatan, (b) mengurangi kemacetan, yaitu dengan menyediakan alternatif yang nyaman, pembangunan transportasi umum akan mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi.
Dampaknya adalah berkurangnya kemacetan, yang secara langsung meningkatkan kualitas hidup warga dan mengurangi stress, (c) efisiensi waktu dan biaya, yaitu waktu tempuh perjalanan menjadi lebih pasti dan efisien, memungkinkan masyarakat menggunakan waktu untuk kegiatan produktif lain. Biaya transportasi harian juga dapat ditekan.
Ketiga, memanfaat lingkungan dan keberlanjutan, (a) Mendukung infrastruktur berkelanjutan, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, penggunaan transportasi umum (terutama yang berbasis listrik atau rendah emisi seperti Commuter Line dan LRT) secara signifikan mengurangi jejak karbon kota.
(b) efisiensi energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang digunakan oleh kendaraan pribadi, sehingga mendukung transisi energi yang lebih bersih, dan (c) pengurangan polusi udara, yaitu konsentrasi polutan di udara perkotaan akan menurun, berkontribusi pada udara yang lebih bersih dan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Kelemahan Sinergi
Keberhasilan pembenahan transportasi umum sangat bergantung pada sinergi yang kuat antara Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Jika kolaborasi ketiga kementerian ini lemah, maka program transportasi di 50 Kota Prioritas Pembangunan berisiko mengalami tiga persoalan. Pertama, infrastruktur bisa mangkrak. Pembangunan terminal mewah, tetapi tidak memiliki anggaran untuk operasional transportasi umum.
Kedua, ketidaksesuaian tata ruang. Perencanaan rute transportasi umum yang tidak selaras dengan pembangunan jalan dan kawasan baru atau zonasi kota, akan menyebabkan layanan tidak menjangkau area – area yang baru berkembang.
Ketiga, masalah keberlanjutan. Proyek hanya berjalan selama masa subsidi dari Kemenhub dan setelah itu, pemda tidak memiliki kerangka hukum atau anggaran (di bawah pembinaan Kemendagri) untuk melanjutkan dan memelihara layanan tersebut, menyebabkan transportasi publik kembali mati suri.
Oleh karena itu, kolaborasi tiga Kementerian, yakni Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Dalam Negeri perlu dilebur dalam satu payung perencanaan terpadu, misalnya melalui pembentukan Tim Kerja Nasional atau Regional yang fokus khusus pada 50 kota tersebut.
Investasi dalam transportasi umum di 50 kota ini adalah langkah konkret untuk membangun ekonomi yang kuat, masyarakat yang inklusif dan lingkungan yang lestari. (Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat)