
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana tsunami.
Tidak hanya tsunami yang dipicu oleh aktivitas gempa tektonik, tetapi juga tsunami yang disebabkan oleh longsoran bawah laut seperti yang terjadi di Palu pada tahun 2018 dan akibat aktivitas vulkanik seperti pada peristiwa Krakatau di tahun yang sama.
Dua kejadian tersebut telah dijadikan pembelajaran bahwa sistem peringatan dini tsunami harus disiapkan untuk menghadapi berbagai jenis pemicu bencana tidak hanya dari satu sumber, tetapi dari berbagai kemungkinan dan faktor lainnya.
Belajar dari pengalaman tersebut, inisiatif untuk memperkuat sistem peringatan dini di bagian hulu dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di bagian hilir telah dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kolaborasi antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Inisiatif itu kemudian diwujudkan oleh BMKG dengan pembangunan gedung sistem operasional InaTEWS BMKG di Bali, sebagai back up facilities yang telah diresmikan pada Sabtu (14/6/2025).
Gedung yang didesain secara khas berbentuk udeng atau pengikat kepala khas Bali ini dibangun menggunakan pendanaan Indonesia Disaster Resilience Initiatives Project (IDRIP) dari World Bank, yang mana Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjadi Ketua Steering Comittee dalam proyek pendanaan tersebut.
Di sela peresmian gedung sistem operasional Ina-TEWS itu, Plt Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, inisiatif ini dirancang bukan hanya sebagai respons terhadap bencana yang telah terjadi, tetapi juga sebagai langkah antisipatif untuk menghadapi potensi bahaya di masa mendatang.
“Dari beberapa peristiwa besar itulah yang kemudian mendasari BMKG bersama BNPB tentunya sebagai leading sector penanggulangan bencana di tanah air untuk merancang langkah antisipatif untuk menghadapi bencana serupa di kemudian hari,” ungkapnya.
Sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019, koordinasi pada sisi hulu telah ditugaskan kepada BMKG, yang berfokus pada pemantauan fenomena alam dan potensi bahayanya.
Sementara itu, koordinasi di sisi hilir telah dipercayakan kepada BNPB, yang bertanggung jawab dalam hal penanggulangan bencana dan pengurangan risikonya.
“Apabila terdapat sebuah gejala alam yang berpotensi menjadi bencana, maka data dan informasi serta hasil analisa itu akan kita sampaikan kepada BNPB, seluruh daerah hingga negara – negara di ASEAN. BNPB kemudian akan bergerak untuk mengambil langkah untuk penanggulangan bencana termasuk pengurangan risikonya,” jelas Dwikorita.
Pada kesempatan yang sama, Kepala BNPB memberikan apresiasi atas peresmian Gedung Operasional Ina-TEWS yang telah dijadikan sebagai salah satu pencapaian utama dalam komponen kedua proyek ini.
Menurut Suharyanto, konteks pembangunan yang berbasis mitigasi bencana, keberadaan back up facilities untuk infrastruktur utama sistem peringatan dini dan penanggulangan bencana memang diwajibkan, agar penyampaian layanan informasi kepada masyarakat tetap dapat dijalankan, bahkan ketika bencana sedang berlangsung.
Tentunya ini semua perlu disiapkan sedini mungkin untuk kehidupan yang akan datang, sehingga penanggulangan bencana di Tanah Air semakin lebih baik lagi.
“Selamat kepada BMKG, mudah-mudahan apa yang hari ini kita resmikan dapat memperlihatkan kepada kita segala data, informasi dan analisa dari BMKG kepada BNPB, daerah dan masyarakat luas sehingga dan penanggulangan bencana di Indonesia dapat kita laksanakan dengan lebih baik lagi,” jelas Suharyanto.
Dia juga menyambut baik atas pencapaian ini dan berharap akan segera disusul oleh pencapaian lainnya.
Setiap langkah yang dilakukan dalam proyek ini adalah bagian dari upaya melindungi kehidupan dan masa depan masyarakat Indonesia. “Tidak hanya bangunannya, tetapi juga keselamatan jiwanya.” B