BMKG Ingatkan Wilayah Yogyakarta Jadi Daerah Rawan Terdampak Gempa Bumi

salah satu pusat mobilitas masyarakat, yakni Stasiun Kereta Api Kota Yogyakarta. (dok. kai.id)
Bagikan

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) alias Jogja merupakan daerah rawan gempa bumi dan tsunami.

Bahkan, di Kabupaten Kulon Progo menjadi wilayah strategis, karena tidak hanya berada di kawasan rawan bencana, tetapi juga menjadi pintu gerbang wisata Yogyakarta dengan keberadaan Yogyakarta International Airport (YIA).

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, YIA sebagai satu – satunya bandara di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara atau mungkin di dunia, yang sejak awal memang dirancang khusus untuk menghadapi ancaman gempa bumi megathrust dan tsunami.

“Keberadaan YIA adalah simbol kesiapsiagaan bencana. Dengan desain khusus tersebut, Kulon Progo memiliki peluang menjadi contoh daerah tangguh bencana. Ketangguhan inilah yang akan menjaga rasa aman masyarakat, sekaligus meningkatkan kepercayaan wisatawan dan investor,” ujarnya.

Namun, Dwikorita menegaskan akan pentingnya memperkuat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi potensi gempa bumi dan tsunami di wilayah DI Yogyakarta.

Dia mengungkapkan tingginya aktivitas seismik di wilayah Selatan Pulau Jawa, sehingga menuntut peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam memahami tanda bahaya dan peringatan dini.

Dwikorita mengingatkan, bencana bisa datang tanpa ada pemberitahuan atau peringatan awal.

Hal ini disampaikan Dwikorita saat membuka Sekolah Lapang Gempa bumi dan Tsunami (SLG) di Kulon Progo, belum lama ini.

Kegiatan tersebut sebagai kepedulian negara membangun masyarakat yang siaga dan tangguh menghadapi ancaman bencana gempa bumi, serta tsunami.

Dwikorita mengatakan, Yogyakarta, khususnya wilayah Pesisir Selatan, memiliki tingkat aktivitas seismik yang tinggi.

“Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, tercatat 114 kejadian gempa bumi dengan Magnitudo di atas 5, dua kali gempa bumi merusak dan 44 guncangan yang dirasakan masyarakat,” ungkapnya.

Bahkan, dia menambahkan, berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia (PUSGEN 2017), potensi gempa bumi Megathrust di Selatan Pulau Jawa bisa mencapai Magnitudo 8,8, yang berpotensi memicu tsunami besar.

“Ancaman ini nyata dan bisa terjadi tiba-tiba. Karena itu, kesiapsiagaan harus terus diperkuat. SLG ini adalah wujud kepedulian negara untuk melindungi keselamatan masyarakat dari bencana gempa bumi dan tsunami,” ujar Dwikorita.

Oleh karena itu, dia berharap SLG di Kulon Progo ini menjadi momentum untuk memperkuat kapasitas daerah dalam menghadapi bencana.

Peran aktif masyarakat, tegasnya, penting dalam meneruskan ilmu dan pengalaman yang diperoleh dari program ini.

Selain SLG, kata Dwikorita, BMKG juga menggelar sejumlah program untuk penguatan mitigasi bencana.

Program edukasi di sekolah telah menjangkau 166 sekolah dengan lebih dari 20.000 peserta.

Menurutnya, sampai saat ini sudah ada enam desa di Yogyakarta yang telah diakui sebagai Masyarakat Siaga Tsunami.

“Bencana memang tidak bisa kita cegah, tetapi dampaknya bisa kita kurangi. Dengan kesiapsiagaan, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga memastikan pembangunan dan pariwisata tetap berkelanjutan,” ujar Dwikorita.

Program – program SLG, Masyarakat Siaga Tsunami dan BMKG Goes To School, dirancang untuk menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat merespons tanda bahaya, serta memahami peringatan dini.

Dwikorita menegaskan, implementasi 12 Indikator Tsunami Ready yang ditetapkan UNESCO-IOC, seperti pembangunan rambu evakuasi, peta bahaya tsunami hingga rencana kontinjensi, harus segera diwujudkan di daerah – daerah pesisir.

“Jika, indikator tersebut dipenuhi, target zero victim bukan mustahil tercapai. Kuncinya adalah sinergi pemerintah daerah, masyarakat dan swasta dalam membangun kesiapsiagaan yang berkelanjutan,” jelasnya. B

Komentar

Bagikan